Monday, July 15, 2013

Curhatan Pengguna Dual-Boot Windows 7 dan Ubuntu 12.04 LTS

Prolog

Sejak pertama kali aku menggunakan laptop, OS pertama yang kugunakan adalah Windows XP. Hal itu tidaklah mengherankan sebab banyak orang di dunia ini menggunakan Windows XP, selain ringan, juga gampang digunakan (setidaknya bagi kebanyakan orang).
Namun semua itu berubah ketika aku menemukan Ubuntu Linux, di sekitar akhir 2011. Aku pun mulai dikenalkan dengan daerah BIOS, partisi, dan Dual-Boot. Beruntung instalasi Ubuntu sangatlah mudah, bahkan untuk orang baru seperti aku waktu itu. Dan Linux pertamaku pun berjalan dengan baik.
Tapi satu masalah, aku tak bisa mengakses internet - aku belum tahu apa-apa soal itu. Penyebab utama aku tak bisa mengakses internet, karena aku menggunakan modem hape, dan aku tak tahu bagaimana mengaturnya.
Akhirnya Linux pertamaku terisolasi, dan aku tak bisa berbuat banyak dengan itu.
Waktu berjalan, dan aku pun belajar bash scripting. Sebenarnya aku belajar bash scripting melalui windows, lalu kusimpan webpage latihannya untuk dibaca dari ubuntu. Ternyata bash scripting lumayan mudah, dan aku membuat semacam script yang berfungsi sebagai shell, semacam suite gitu yang memanggil berbagai fungsi dasar dari dalam script itu sendiri, misalnya membuat folder, memindahkan, menghapus folder atau file, mengubah namanya, menampilkan direktori kerja. Pada waktu itu aku masih muda, dan aku pun mengalami euforia sendiri dan ingin buat versi batch script-nya (di windows), dan menemukan kalau itu adalah hal yang sangat sulit bahkan nyaris mustahil karena pada dasarnya bash script lebih fleksibel daripada batch script.
Kemudian papaku mengambil laptopku, dan menginstall ulang windowsnya (dan menghapus ubuntu-ku). Okelah aku tak mempermasalahkannya karena memang papaku yang akan pakai, dan jelas mereka tak tahu apa-apa soal dunia linux (sama sepertiku pada waktu itu, tapi setidaknya aku sudah lebih berpengalaman). Kemudian aku diberi laptop gantinya, laptopnya papaku sih, lebih tua dari laptopku yang sebelumnya. Tapi aku takut memasang Ubuntu lagi, karena belum cukup ruang, papaku belum pindahkan data-datanya dari laptopnya, jadi aku cuma bisa menunggu saat aku pulang ke kendari (aku di makassar waktu itu) agar data-datanya bisa dipindahkan dan aku bisa punya cukup ruang di laptop baru itu untuk install linux.


Menggunakan Wubi

Barulah setelah aku pulang di kendari, aku bisa punya ruang yang cukup untuk menginstall ulang ubuntuku. Pada waktu itu sudah masuk tahun 2013, dan versi baru ubuntu sudah keluar. Tapi karena masalah sumber daya, aku hanya menggunakan ubuntu 11.10 keluaran oktober 2011 yang dulu kupakai di komputer pertamaku. Aku menginstallnya melalui Wubi, karena aku masih takut menggunakan bekas komputer papaku ini untuk menginstall Ubuntu secara full melalui partisi dan sebagainya.
Barulah belakangan aku menyadari ternyata aku bisa menggunakan blackberry-ku sebagai modem, apalagi karena aku menggunakan telkomsel yang ada fitur telkomsel flash-nya. Jadi aku pun mulai menyempurnakan ubuntu-ku. Dan aku mendownload banyak aplikasi untuk Ubuntu, dan mendownload Ubuntu-restricted-extras yang membuatku bisa memainkan media melalui ubuntu, akhirnya ubuntuku tidak lagi terisolasi.
Namun menggunakan Wubi bukanlah pilihan yang terbaik untuk menginstall ubuntu. Karena hanya terinstall sebagai aplikasi dan sistem ubuntu di dalam Windows (menggunakan Windows Bootmanager, dan tanpa melakukan partisi dan sebagainya, Ubuntu diinstall di sebuah disk image). Apalagi rentan terhadap hard reboots, dan karena system performance yang lebih rendah. Memang Wubi baiknya hanya untuk preview saja.
Apalagi aku sudah dua-tiga kali install ulang Ubuntu yang terinstall menggunakan Wubi, karena error atau apa kah itu. Maka kemudian aku memutuskan untuk pindah ke full installation.
Sebenarnya banyak cara untuk memindahkan wubi installation ke full installation menggunakan script wubi-move, namun disk image-nya sudah terlanjur rusak dan aku pun gagal mengambil data yang ada di dalamnya. Jadi aku melakukan fresh install saja. Semuanya berjalan dengan baik, dan Ubuntu-ku terinstall dengan rapi di partisi seukuran 8 GB.

Fresh Install

Jadi sekarang aku punya ubuntu yang tersimpan dengan rapi di partisi seukuran 8 GB, di antara dua partisi NTFS (drive D: dan E: di windows). Namun segera aku pun kehabisan ruang
Soal ruang, aku sempat berpikir untuk menghapus drive D:-ku, dan menggunakannya sebagai folder /home.
Dulu aku berpikir, 8 GB itu cukup. Mengingat aku belum menggunakan Ubuntu sesering sekarang sih. Aku menggunakan Ubuntu hanya untuk mencari pengalaman, dan OS utamaku tetaplah Windows. Namun seiring aku menggunakan Ubuntu, aku menemukan kalau Ubuntu itu jauh lebih powerful dibandingkan Windows, dan aku pun perlahan-lahan melakukan shift dari pengguna windows setia ke pengguna linux. Maka 8 GB itu pun mulai tak cukup. Kebetulan di Windows aku menggunakan drive E: sebagai drive utama untuk menyimpan data, dan drive D: kugunakan tidak sesering E:, dan kebetulan memang partisi 8 GB tempat kuinstall Ubuntu itu kucuri-curi dari D:, maka aku pun mengosongkan drive D:-ku. 

Kemudian aku mengambil ruang 20 GB dari belakang drive D:, dan aku pun menjadikan partisi baru itu sebagai partisi "/" untuk Ubuntu-ku (setara C: di Windows), dan partisi 8 GB lama itu jadi "/home", atau partisi khusus tempat aku menyimpan data-data pribadi dan konfigurasi aplikasi. Perlahan, 8 GB itu pun juga mulai tak cukup. Aku tak menyangka kalau sekarang aku mulai menggunakan Ubuntu sebagai OS utama. Aku dulu install Ubuntu dengan pemikiran Windows sebagai OS utama, maka aku memprioritaskan ruang yang bisa digunakan di Windows. Sekarang aku sangat menyesalinya, dan aku pun mulai menyedot ruang lagi dari drive D:-ku. Kali ini drive D:-ku benar-benar kuhilangkan. Aku pun memperoleh dua partisi, masing-masing berukuran kira-kira 20 GB. Yang pertama kugunakan untuk "/", dan yang kedua kugunakan untuk "/home". Maka aku pun bisa bernafas lega sekarang, karena aku sudah punya ruang yang cukup besar.
Namun suatu waktu aku penasaran dengan komputerku sendiri, dan aku pun melakukan riset tentang spesifikasi laptopku (Aspire 4920), dan menemukan kalau komputer ini memiliki prosesor 64-bit! Selama ini kukira komputerku menggunakan prosesor 32-bit karena Windows-ku menggunakan versi 32-bit. Padahal aku sudah menginstall Ubuntu yang 32-bit. Jadi kuputuskan untuk menggantinya ke versi 64-bit, kali ini fresh install juga (untuk beberapa alasan aku memang menyarankan fresh install). Nah akhirnya untuk pertama kalinya aku menggunakan kekuatan sesungguhnya dari komputerku sendiri, hahaha.

Akhir Kata

Akhir kata, sekarang aku menggunakan Ubuntu sebagai OS utamaku, dan sudah jarang membuka Windows. Jika kalian juga pernah menggunakan Linux, anda akan mengerti mengapa aku memilih Ubuntu sebagai OS utama dibandingkan Windows. Terutama karena Ubuntu sangat hemat memory. Di Windows 7-ku, jumlah RAM yang terpakai yang paling sedikit pernah kulihat itu sekitar 780an MB, sementara di Ubuntu, RAM yang terpakai yang paling sedikit yang pernah kulihat itu 380an MB, dengan rata-rata di bawah 500an MB.
Di kota tempat tinggalku, Kendari, aku pernah mendengar rumor yang bilang kalau menginstall Ubuntu dan Windows (atau singkatnya dual booting) sangat memakan RAM, tapi aku yakin sekali mereka belum pernah merasakan betapa powerfulnya Linux, lagipula aku tak menemukan bukti untuk pernyataan mereka itu. Karena penggunaan RAM sewaktu aku booting ke Linux saja lebih sedikit daripada sewaktu menggunakan Windows, aku yakin yang dia maksud dengan menyedot RAM itu pasti ketika menggunakan Linux di Virtual Machine, karena memang Virtual Machine memakan RAM. Dan ada juga yang bilang memasang Linux dan Windows di satu komputer membuat sistem tak stabil.
Jujur saja aku sangat menganjurkan dual booting Windows dan Linux, terutama karena sistem Linux sangatlah aman dan bebas virus (virus yang diketahui di Linux kurang dari 30, bandingkan dengan Windows yang sekitar ratusan ribu virus), dan beberapa keuntungan lain, misalnya jika ada file yang tak bisa dihapus dari Windows, bisa dihapus dari Linux. Jika ada yang bilang dual boot itu tidak baik atau bahaya, sebaiknya anda jangan langsung percaya, tapi cobalah mencari referensi sendiri, terutama dengan adanya internet.

Catatan: beberapa link cuman bisa kuberikan dalam bahasa inggris, karena aku tak menemukan link dalam bahasa indonesia yang memberikan informasi selengkap versi bahasa inggrisnya. Jika ada yang tahu link dalam bahasa indonesia yang kurang lebih sama lengkapnya, tolong post di komen ya, thanks.

Edit

Ternyata sudah ada yang menulis blog dengan tema yang serupa di sini. Tapi aku baru menyadarinya setelah selesai menulis blog-ku ini. Anggap saja konten blog-ku ini berisi pengalaman pribadiku sementara blog yang link-nya tertera di link barusan untuk urusan teknis.

No comments:

Post a Comment

Creative Commons License
Except where otherwise noted, blog entries of The Finder - The Blog by Hendrik Lie is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.